Bahan Bacaan
1. Konsep Wilayah
Wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang
antarbagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional.
Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan
kedekatan, kemiripan, atau intensitas
hubungan fungsional antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah
pewilayahan untuk tujuan pengembangan/
pembangunan/ (development).
Tujuan pembangunan
terkait dengan lima kata kunci, yaitu:
(1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan;
(3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
Sebenarnya tidak ada satu definisipun yang benar-benar
definitif yang
dapat disepakati oleh berbagai pihak.
Demikian juga definisi "region"
atau lazim disebut wilayah dalam
geografi sampai saat inipun masih
sangat tergantung kepada sudut pandang
dan kepentingan masingmasing pihak. Wilayah dapat diartikan sebagai bagian
permukaan bumi yang memilki
batas-batas dan ciri-ciri tersendiri berdasarkan lingkup
pengamatan atas satu atau lebih fenomena
atau kenampakan tertentu.
Mas Sukoco (1985:45) mengungkapkan
bahwa region dapat mempunyai
bermacam-macam arti. Suatu wilayah atau
region bukan hanya suatu
unit geografis, namun boleh jadi suatu
unit penggunaan lahan, unit
permukiman, unit produksi, unit
perdagangan, unit transportasi, atau
unit komunikasi.
Secara umum region/wilayah dapat diartikan sebagai
bagian permukaan
bumi yang dapat dibedakan dalam hal-hal
tertentu dari daerah
sekitarnya (Bintoro, 1979). Batasan
tersebut sesuai dengan pendapat
Fisher (1975), yang mengemukakan bahwa
suatu konsep region
memandang suatu daerah sebagai suatu
wilayah/tata ruang yang
mempunyai ciri-ciri khas yang kurang
lebih sama (homogen) dan dengan
segera dapat dibedakan dari
daerah-daerah lain bagi keperluan
perencanaan pembangunan dan pengambilan
kebijakan tertentu.
Konsep region/wilayah berubah-ubah dan
mengalami perkembangan,
sehingga muncul beberapa pengertian
wilayah yang kadang-kadang
berbeda sebagai akibat proses klasifikasi
yang berbeda pula, seperti:
uniform region dan nodal region. Namun
pada prinsipnya region
lebih dititikberatkan sebagai suatu
wilayah yang mempunyai ciri-ciri
keseragaman gejala internal (internal
uniformity) yang membedakan
wilayah yang bersangkutan dari wilayah
lainnya. Ciri-ciri yang
merupakan internal uniformity ini dapat
berupa gejala fisik, seperti
keseragaman vegetasi, keseragaman
iklim, relief permukaan tanah atau
yang lainnya. Dapat pula berupa gejala
non fisik, seperti bentuk aktivitas
dalam perekonomian, adat istiadat,
bentuk pemerintahan, pola
permukiman dan lain-lainnya. Region
dengan dasar internal uniformity
ini biasanya disebut dengan formal
region.
Di samping itu suatu region dapat juga dilihat sebagai
bagian dari suatu
sistem, yang lebih menekankan pada
bagaimana suatu region saling
berhubungan dengan region lain, dalam
hal ini region tersebut disebut
functional region, misalnya interaksi
antara wilayah perkotaan sebagai
pusat industri dan jasa dengan wilayah
perdesaan sebagai penyedia
sumber bahan mentah dan tenaga kerja
bagi perkotaan.
Karena sifatnya yang demikian maka formal region relatif
bersifat statis,
sedang functional region functional
region lebih dinamis (Suparmat,
1989:1), hal ini wajar karena fungsi
suatu wilayah dalam hubungannya
dengan wilayah lain selalu berubah dan
mengalami perkembangan.
Dalam perkembangan selanjutnya dikenal
pula istilah-istilah "sub
region" atau "sub unit",
dari masing-masing daerah atau region, misalnya
daerah dataran banjir, daerah lereng
gunung api, dan dataran pantai
(Mas Sukoco, 1985:45).
2. Klasifikasi Wilayah
Ada beberapa istilah yang di Indonesia mempunyai
pengertian yang
serupa dengan konsep wilayah, seperti: divisi,
distrik, zone, realm,
bentang lahan, dan lain-lainnya.
Wilayah merupakan bagian dari
permukaan bumi yang mempunyai
persamaan-persamaan tertentu, yang
dapat dibedakan dari wilayah
sekitarnya. Semula penggolongan wilayah
hanya didasarkan pada ciri-ciri alamiah
saja (natural feature), kemudian
ditambah dengan suatu kenampakan
tunggal (single feature), seperti
iklim, topografi, vegetasi, morfologi,
dan lain-lainnya.
Geographical Association (1937) mengaklasifikasikan wilayah sebagai
berikut:
a. Generic Region: yaitu penggolongan
wilayah menurut jenisnya yang
menekankan pada jenis wilayah, seperti
iklim, topografi, vegetasi, dan
fisiografi. Misalnya wilayah vegetasi,
dalam hal ini lebih ditekankan
kepada jenis perwilayahannya saja.
b. Specific Region: yaitu merupakan wilayah
tunggal, yang mempunyai
ciri-ciri geografis tertentu/khusus
terutama yang ditentukan oleh
lokasi absolut dan lokasi relatifnya.
Misalnya: (a) Wilayah Asia
Tenggara merupakan wilayah tunggal yang
mempunyai
kharakteristik geografis khusus,
seperti lokasi, penduduk, bahasa,
tradisi, iklim, dan lain-lainnya; (b)
Wilayah Waktu Indonesia Barat
(WIB), merupakan wilayah tunggal dan
mempunyai ciri khusus yaitu
lokasinya di Indonesia bagian barat
yang dibatasi oleh waktu,
berdasarkan garis bujur serta
pertimbangan politis, sosial, ekonomi,
aktivitas penduduk, dan budaya.
c. Uniform Region: merupakan suatu wilayah
yang didasarkan atas
keseragaman atau kesamaan dalam
kriteria-kriteria tertentu. Contoh:
wilayah pertanian yang mempunyai
kesamaan yakni adanya unsur
petani dan lahan pertanian, dan
kesamaan itu menjadi sifat yang
dimiliki oleh unsur-unsur yang
membentuk wilayah (Bintarto dan
Surastopo, 1979).
d. Nodal Region: merupakan suatu wilayah
yang diatur beberapa pusatpusat kegiatan yang saling dihubungkan oleh jalur
transportasi
antara satu dengan yang lainnya.
Contoh: Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) sebagai kota yang
cukup besar dan unik,
mempunyai beberapa pusat kegiatan
seperti pusat kebudayaan Jawa,
pusat pendidikan, pusat perdagangan,
pariwisata, industri kerajinan,
dan lain-lainnya. Pusat-pusat kegiatan
tersebut satu sama lain
dihubungkan dengan jaring-jaring
transportasi dan komunikasi yang
membentuk suatu sistem keruangan dan
kelingkungan yang terpadu
sedemikian rupa sehingga membentuk
suatu sistem kewilayahan.
3. Bentuk-bentuk
Persekutuan Regional
Berdasarkan beberapa kajian tentang perwilayahan dapat
dikatakan
bahwa suatu negara atau beberapa
kelompok negara dengan berbagai
ragam kenampakan yang khas, seperti
struktur sosial, ekonomi,
pertumbuhan, tingkat pendidikan
penduduknya, tingkat ketergantungan
ekonominya, dan lain-lainnya dapat
disebut sebagai suatu region.
Klasifikasi semacam ini sangat berguna,
baik bagi pengkajian ilmiah
maupun untuk kepentingan praktis,
terutama bagi para perencana
regional sebagai suatu bidang kegiatan
yang sangat vital.
Atas dasar kajian tentang wilayah, maka muncul
bentuk-bentuk
persekutuan (perhimpunan) regional,
antara lain:
a. Persekutuan
negara-negara berdasarkan paham politik yang dianut,
seperti: Blok Barat, Blok Timur, dan
Non Blok;
b. Persekutuan
negara-negara di bidang ekonomi, seperti: Masyarakat
Ekonomi Asean/MEA, Mashall Plan,
Colombo Plan, OPEC, Pasaran
Bersama Eropa (Europian Common Market/ECM), Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE), Camecon (Council for Mutual Economic
Assistance), Sela (Sistema Economico
Latioamericano), Pasar Bebas
Asia (AFTA), EEC (Europian Economic
Community), dan EAC (East
African Community);
c. Persekutuan
negara-negara di beberapa bidang sosial ekonomi
budaya, seperti OKI (Organisasi
Konferensi Islam), Kelompok UtaraSelatan, OAS (Organization of American States)
dan lain-lainnya.
Regionalisasi wilayah pembangunan dapat
pula dijadikan suatu contoh
sebagai suatu region (development
region) yang dapat dijadikan dasar
suatu perencanaan, misalnya ketika masa
orde baru Indonesia masih
mempunyai 26 provinsi, dibagi menjadi
beberapa wilayah pembangunandan 4 (empat) wilayah pembangunan utama.
4. Teori Perkembangan Wilayah
Ada beberapa teori mengenai perkembangan wilayah yang
sering
digunakan sebagai model. Teori tersebut
pada umumnya berasal dari
tinjauan perkembangan ekonomi beberapa
negara. Untuk
mengelompokkan teori-teori tersebut
sangat sulit, karena banyak hal
yang mempengaruhinya yang harus
dipertimbangkan, seperti periode
waktu teori tersebut lahir, pijakan
yang digunakan tolok ukur, dan ide
yang terkandung dalam teori tersebut.
Pada prinsipnya ada tiga kelompok teori, yakni: (1) yang
berasal dari
mashab historis antara lain teori
Friedrich List, Karl Bucher, dan W.W.
Rostow; (2) dari mashab analitis antara
lain teori Adam Smith, Harrod
Domar, dan Solow Swan; dan (3)
merupakan gabungan dari mashab
historis dengan mashab analitis,
seperti teori Schumpeter dan lain-lain.
Pada kesempatan ini tidak semua teori
perkembangan wilayah dibahas,
namun mudah-mudahan yang dibahas di
sini dapat mewakili sejumlah
teori-teori yang ada dan dapat
memberikan wawasan tentang
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
wilayah.
Beberapa teori tersebut adalah: Control Theories, Teori
Ketergantungan,
Teori Perkembangan Wilayah dari Rostow,
dan Teori Tiga Gelombang
dari Toffler.
a. Control Theories
Control theories meliputi dua teori, yaitu (1)
determinisme
lingkungan alam, dan (2) determinisme
kebudayaan (Suparmat,
1989:12).
1) Teori
Determinisme Lingkungan Alam (Physical Environment
Determinism) berpandangan bahwa
pengaruh lingkungan alam
sangat kuat terhadap perkembangan
masyarakat suatu wilayah
atau negara. Pengaruh ini dapat
positif, bisa juga negatif.
Misalnya beberapa negara yang terletak
di daerah tropis akan
menghadapi masalah-masalah seperti:
adanya temperatur yang
panas dalam melemahkan energi dan
aktivitas kerja masyrakat;
banyaknya hujan mengakibatkan
terbentuknya rawa-rawa dan
genangan air yang merupakan tempat yang
ideal bagi berbagai
sumber penyakit, dan lain-lain. Bahkan
Ellsworth Huntington
(1961) berpendapat bahwa lingkungan
alam sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan manusia,
lebih lanjut
dikatakan bahwa iklim merupakan kunci
dari kebudayaan
manusia. Dalam batas-batas tertentu
memang lingkungan alam
berpengaruh terhadap tingkat
perkembangan wilayah, namun
suatu kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri ialah bahwa ada
beberapa negara yang mempunyai kondisi
lingkungan alam yang
kurang menguntungkan dapat pula
berkembang pesat. Hal ini
bisa terjadi karena adanya
faktor-faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap perkembangan suatu
negara, yaitu faktor
kemampuan akal pikiran manusia yang
dimanifestasikan dalam
ilmu pengetahuan dan teknologinya.
2) Determinisme
Lingkungan Kebudayaan (Cultural Determinism)
yang beranggapan bahwa perbedaan suatu
bangsa akan sangat
berpengaruh terhadap tingkat kemajuan
suatu wilayah. Teori ini
memandang bahwa segala sesuatu akan
bisa dicapai dengan
menggunakan akal pikiran manusia, dan
nilai keberhasilan
pembangunan diukur dari segi pencapaian
materi yang
dimilikinya.
b. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Dalam teori ketergantungan sebenarnya ada beberapa
aliran/mashab, yakni: aliran Marxis,
Neo Marxis, dan non Marxis.
Namun pada prinsipnya teori ini
beranggapan bahwa
keterbelakangan (under development)
yang dialami negara-negara
berkembang bermula pada saat masyarakat
negara tersebut:
tergabung (incorporated) ke dalam
sistem ekonomi dunia kapitalis.
Dengan demikian masyarakat negara
berkembang tersebut
kehilangan otonominya dan menjadi
negara "pinggiran" dari daerahdaerah metropolitan yang kapitalis.
Selanjutnya daerah-daerah
pinggiran ini dijadikan daerah-daerah
jajahan dari negara-negara
metropolitan. Mereka hanya berfungsi
sebagai produsen-produsen
bahan mentah (raw materials), dan konsumen
barang-barang jadi
yang dihasilkan oleh industri-industri
di negara-negara metropolitan
tersebut. Dengan demikian timbullah
struktur ketergantungan yang
merupakan penghambat yang hampir tidak
dapat diatasi bagi
negara-negara berkembang.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa berdasarkan
teori
ketergantungan, tergabungnya secara
paksa (forced incorporated)
negara-negara yang sebagian besar
pernah dijajah ke dalam sistem
ekonomi kapitalisme dunia merupakan
penyebab dari
keterbelakangan (under development)
negara-negara sedang
berkembang dewasa ini. Tanpa adanya
kolonialisme dan integrasi ke
dalam sistem ekonomi kapitalisme dunia,
negara-negara
berkembang saat ini pasti sudah
berhasil mencapai tingkat
kesejahteraan yang memadai, dan bukannya
tidak mungkin untuk
mengembangkan industri-industri
manufaktur atau usaha lain atas
kekuatan sendiri.
Salah satu kelemahan dari teori ini
adalah bahwa satu-satunya
penyebab terjadinya keterbelakangan dan
ketergantungan adalah
karena kolonialisme dan integrasi dari
negara-negara berkembang
ke dalam sistem ekonomi kapitalisme
dunia, dan sama sekali
mengabaikan faktor-faktor internal,
seperti faktor sosial budaya, dan
pola perilaku masyarakat sebagai suatu
faktor penyebab penting
dari keterbelakangan dan penghambat
pembangunan di negaranegara berkembang.
c. Teori Rostow
W. W. Rostow mencetuskan teori pertumbuhan ekonomi yang
pada
mulanya dikemukakan sebagai suatu
artikel dalam Economic Journal
yang kemudian dibukukan dengan judul
"The Stages of Economic
Growth" (1971). Diungkapkan bahwa
setiap negara di dalam
perkembangannya akan melalui
tahapan-tahapan yang sama, yakni
melalui 5 (lima) fase berturut-turut:
masyarakat tradisional,
prakondisi untuk lepas landas, lepas
landas, gerakan ke arah
kedewasaan, dan masa konsumsi tinggi.
Secara umum analisis Rostow menitikberatkan kepada
pembahasan
yang didasarkan pada pandangan bahwa
pertumbuhan ekonomi
terjadi sebagai akibat munculnya
perubahan yang fundamental yang
terjadi dalam aktivitas ekonomi maupun
dalam kehidupan politik dan
hubungan sosial dalam suatu masyarakat.
Dalam membedakan kelima fase pembangunan Rostow
mendasarkan
kepada ciri-ciri umum perubahan
keadaan: ekonomi, politik, dan
sosial yang berlaku. Pembangunan
ekonomi atau transformasi suatu
masyarakat tradisional menjadi suatu
masyarakat modern merupakan
suatu proses yang mempunyai dimensi
banyak, tidak sekedar ditandai
dengan menurunnya peranan faktor
pertanian dan meningkatnya
peranan faktor industri dan jasa.
Secara garis besar kelima fase
pembangunan ekonomi Rostow adalah
sebagai berikut:
1) Masyarakat Tradisional (The Traditional Community)
Pada fase ini fungsi produksi
terbatas dimana cara produksi yang
digunakan masih relatif primitif dan
cara hidup masyarakat masih
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
kurang rasional dan bersifat
turun temurun. Tingkat produksi masih
sangat terbatas, dan
sebagian sumber-sumber daya masyarakat
digunakan untuk
kegiatan dalam sektor pertanian. Di
sektor pertanian struktur
sosialnya sangat bersifat hirarkhis.
2) Prasyarat untuk Lepas Landas (The Preconditions for Take
Off)
Pada
fase ini masyarakat sudah mulai mempersiapkan diri atau
dipersiapkan dari luar, untuk mencapai
pertumbuhan yang
mempunyai kekuatan untuk terus
berkembang (self sustained
growth). Pada fase ini pula dan
seterusnya pertumbuhan ekonomi
akan berlaku secara otomatis. Ada 2 corak
menyertai tahap
prasyarat lepas landas ini. Pertama,
adalah tahap prasyarat lepas
landas yang dialami oleh negara-negara
Eropa, Asia, Timur
Tengah, dan Afrika, dimana tahap ini
dicapai dengan perombakan
masyarakat tradisional yang sudah lama
ada. Corak yang kedua
adalah tahap prasyarat lepas landas
yang dicapai oleh negaranegara "born
free" seperti: Amerika
Serikat, Canada, Australia, dan
New Zealand, di negara-negara tersebut
mengalami prasyarat
lepas landas tanpa harus merombak
sistem masyarakat yang
tradisional.
3) Lepas Landas (The Take Off)
Pada
awal tahap ini terjadi perubahan yang drastis dalam
masyarakat, seperti revolusi politik,
terciptanya kemajuan yang
pesat dalam inovasi, atau terbukanya
pasar-pasar baru.
Hambatan-hambatan yang berupa
unsur-unsur tradisional mulai
menghilang, modernisasi dan pertumbuhan
ekonomi merupakan
gejala umum dimana-mana. Tingkat
pendapatan perkapita
semakin besar sebagai akibat adanya
pertumbuhan pendapatan
nasional yang melaju melebihi tingkat
pertumbuhan penduduk.
Kalau pada fase pertama dan kedua
biasanya berlangsung lama,
maka pada fase lepas landas ini
berlangsung dalam waktu yang
relatif pendek, yaitu 40 s.d. 60 tahun
(Wheeler, 1981:49).
4)
Gerakan ke Arah Kedewasaan (The Drive to Maturity)
Pada
masa ini masyarakat sudah secara efektif menggunakan
teknologi modern pada sebagian besar
faktor-faktor produksi dan
kekayaan alamnya. Di samping itu
struktur dan keahlian tenaga
kerja mengalami perubahan, dan peranan
sektor industri semakin
penting, dilain pihak sektor pertanian
mengalami penurunan.
Sejalan dengan semakin besarnya peranan
sektor industri
muncullah kritik-kritik terhadap
industrialisasi sebagai akibat
dari ketidak puasan terhadap dampak
industrialisasi. Pada fase ini
pula peningkatan keuntungan ekonomi
semakin melimpah ke
dalam kesejahteraan sosial dan
penanaman modal ke wilayah lain.
Demikian pula sifat kepemimpinan maupun
kemahiran dan
kepandaian para pekerja menjadi semakin
terspesialisasi secara
lanjut.
5)
Masa Konsumsi Tinggi (The Age Off Hight Mass Consumption)
Pada
fase ini orientasi tidak lagi pada masalah produksi, akan
tetapi lebih difokuskan kepada masalah-masalah
yang berkaitan
dengan peningkatan kualitas konsumsi
dan kesejahteraan
masyarakat. Adapun tujuan masyarakat
pada fase ini antara lain
adalah: memperbesar pertumbuhan dan
kekuasaan terhadap
wilayah lain: menciptakan welfare state, sehingga kemakmuran
menjadi lebih merata, dan berusaha
mempertinggi konsumsi
masyarakat di atas keperluan pokok
(sandang, pangan,
perumahan) menjadi barang-barang
berkualitas tinggi, tahan
lama, dan barang-barang mewah.
Berdasarkan
teori Rostow dapat dikatakan bahwa dewasa ini
negara-negara berkembang termasuk di
antara fase pertama
sampai fase ketiga, sedang
negara-negara maju termasuk dalam
fase keempat dan kelima.
Teori
dari W.W. Rostow tersebut mempunyai cukup banyak
kelemahan antara lain: tidak ada
perbedaan yang pasti antara fase
yang satu dengan yang lain (masih
kabur); ciri-ciri dalam setiap
tahap kurang dapat diuji secara
empiris; teori tersebut belum
tentu dapat menunjukkan tahap
pembangunan di negara-negara
berkembang, di samping itu perlu
diingat bahwa proses
pembangunan tidak hanya bersifat self-sustained growth,
melainkan juga bersifat self limiting effect, dan laju pembangunan
suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang
menciptakan masing-masing kekuatan.
d.
Teori Tiga Gelombang dari Toffler
Toffler dalam bukunya "The Third Wave" (1980) mengklasifikasikan
masyarakat suatu wilayah/negara ke dalam tiga
gelombang, yaitu: gelombang I, II, dan III.
1) Gelombang I (Peradaban
Pertanian)
Pada
masa ini ditandai dengan banyaknya masyarakat memakai
baterei alamiah (living battery). Keluarga mencakup keluarga
besar (extended family), yang berarti sanak saudara jauhpun
dianggap anggota keluarga. Kaum petani
bercocok tanam sekedar
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pasar
bukan merupakan hal
yang penting, karena kelebihan hasil
pertanian akan disimpan
dalam "lumbung" sebagai
persediaan di musim paceklik. Tingkat
ketergantungan antara wilayah yang satu
dengan wilayah lain
sangat kecil (low interdependency), karena biasanya suatu wilayah
berproduksi untuk dikonsumsi sendiri,
atau disebut "Pro-Sumen".
2) Gelombang II (Peradaban
Industri)
Dalam
masa ini masyarakat sudah mulai menggunakan energi dari
minyak dan gas yang tidak dapat
diperbaharui. Keluarga hanya
mencakup keluarga inti. Peranan pasar
sangat vital, karena itu
produksi berproduksi dengan menggunakan
mesin-mesin raksasa
yang memang dirancang untuk produksi
masa. Pendidikan dan
media massa memegang peranan penting
dan ada kecenderungan
manusia mulai mendominasi alam,
pemborosan bahan baku, dan
energi sangat menonjol demikian pula
mobilitas penduduk.
Masyarakat pada masa ini sudah banyak
berkomunikasi dengan
menggunakan media kertas dan jasa
postel. Dalam rangka
mendapatkan bahan baku dan memasarkan
hasil produksi,
daerah "jajahan" direbut dan
hal ini diikuti dengan adanya
pergerakan-pergerakan nasionalisme.
Gelombang kedua ini sering
dikiaskan dengan "Big is Beautiful".
3) Gelombang III (Peradaban
Informasi)
Pada
masa ini masyarakat sudah banyak yang menggunakan
energi yang dapat diperbaharui (renewable). Dalam produksi
masyarakat sudah mulai beralih dari
cara-cara berproduksi
memakai tangan mesin (manufacture), ke suatu proses produksi
yang menggunakan proses biologi (biofacture). Ketergantungan
atau keterkaitan antara wilayah yang
sangat menonjol dan
bersifat menyeluruh (hight interdependency). Adapun suatu gejala
yang sangat menonjol adalah terutama
teknologi tinggi yang
meliputi: teknologi penerbangan dan
angkasa luar; teknologi
alternatif yang dapat diperbaharui,
penerapan bioteknologi dan
yang mungkin paling mempengaruhi
globalisasi, yakni teknologi
informasi. Ada beberapa gejala
gelombang I yang muncul pada
masa ini antara lain adalah timbulnya
gejala global village dan deurbanisasi
(karena bagusnya layanan
telekomunikasi dan
transportasi), dan timbulnya gejala
dimana konsumen ingin
memproduksi barang- barangnya sendiri.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa peradaban
masyarakat di negara-negara berkembang
masih condong pada
gelombang I dan II, sedangkan peradaban
bangsa-bangsa yang
telah maju terutama berada dalam
gelombang II dan III. Dewasa
ini Indonesia dengan pembangunan
berencananya, berusaha
untuk "tinggal landas"
memasuki peradaban gelombang II untuk
menjadi negara industri baru, mungkin
seperti yang dicontohkan
oleh negara-negara industri baru (New Emerging Industrialized
Countries), seperti Taiwan, Singapura, Korea Selatan,
dan China.
5.
Teori Interaksi Wilayah
Perkembangan
wilayah tidak berjalan serentak, ada yang berkembang pesat namun
ada pula yang berjalan lambat. Perkembangan wilayah ini terkait dengan interaksi antar wilayah.
Beberapa
komponen yang mempengaruhi interaksi wilayah antar
alain adalah jumlah penduduk, jarak dan jumlah jaringan jalan yang menghubungkan antar
wilayah. Kekuatan interaksi wilayah
dapat dibandingkan dengan menggunakan teori grafik, model gravitasi dan teori titik henti.
a.
Teori Grafik
Salah
satu komponen penting interaksi antar wilayah adalah
infrastruktur berupa jaringan jalan.
Makin banyak jaringan jalan yang
menghubungkan antar kota maka
alternatif distribusi penduduk, barang dan jasa makin lancar. Anda tentu sependapat
bahwa antara satu wilayah dan
wilayah lain senantiasa dihubungkan oleh jalur-jalur transportasi
sehingga membentuk pola jaringan
transportasi.
Tingkat
kompleksitas jaringan yang menghubungkan berbagai wilayah
merupakan salah satu indikasi
kuatnya arus interaksi. Sebagai
contoh, dua wilayah yang dihubung kan dengan satu jalur jalan tentunya memiliki kemungkinan hubungan
penduduknya jauh lebih kecil dibandingkan
dengan dua wilayah yang memiliki jalur transportasi yang lebih banyak.
Untuk
menganalisis potensi kekuatan interaksi antarwilayah ditinjau dari
struktur jaringan jalan sebagai prasarana transportasi,
K.J.
Kansky mengembangkan Teori Grafik dengan membandingkan
jumlah kota atau daerah yang memiliki
banyak rute jalan sebagai sarana penghubung kota-kota tersebut. Menurut Kansky, kekuatan
interaksi ditentukan
dengan Indeks Konektivitas. Semakin
banyak jaringan jalan yang
menghubungkan kota-kota maka makin
tinggi nilai indeks
konektivitasnya. Hal ini tentunya
berpengaruh terhadap potensi
pergerakan manusia, barang, dan jasa
karena prasarana jalan sangat memperlancar
tingkat mobilitas antarwilayah. Untuk menghitung indeks konektivitas ini digunakan rumus sebagai
berikut.
Contoh
bandingkan indeks konektivitas dua wilayah berikut ini.
(3) Berdasarkan nilai
konektivitasnya, potensi interaksi antarkota di wilayah A lebih tinggi jika dibandingkan wilayah B.
Hal tersebut
terjadi dengan catatan kondisi alam, sosial, serta kualitas prasarana jalan antara kedua wilayah relatif sama.
konektivitas yang tinggi dapat ditafsirkan wilayah tersebut memiliki
interaksi yang tinggi pula sehingga memperlancar arus pergerakan manusia,barang,
dan jasa yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraanmasyarakat.
b.
Teori Gravitasi
Teori Gravitasi kali pertama diperkenalkan dalam
disiplin ilmu Fisika
oleh Sir Issac Newton (1687). Inti dari teori ini adalah bahwa dua buah
benda yang memiliki massa tertentu akan memiliki gaya tarik menarik
antara keduanya yang dikenal sebagai gaya gravitasi. Kekuatan gaya
tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil kali kedua massa
benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara
kedua benda tersebut. Secara matematis, model gravitasi Newton ini
dapat diformulasikan sebagai berikut.
Model gravitasi Newton ini kemudian diterapkan oleh W.J.
Reilly (1929),
seorang ahli geografi untuk mengukur kekuatan
interaksi keruangan
antara dua wilayah atau lebih. Berdasarkan hasil penelitiannya, Reilly berpendapat
bahwa kekuatan interaksi antara dua wilayah yang berbeda dapat diukur dengan memerhatikan faktor jumlah
penduduk dan jarak antara
kedua wilayah tersebut. Untuk mengukur kekuatan interaksi antarwilayah digunakan formulasi sebagai berikut.
Contoh soal:
Misalnya ada 3 wilayah A,
B, dan C, dengan data sebagai berikut.
(1) Jumlah penduduk wilayah A = 20.000 jiwa,
B = 30.000 jiwa, dan C = 40.000 jiwa.
Ditanyakan: :
Manakah dari ketiga wilayah tersebut yang
lebih kuat interaksinya?
Apakah antara wilayah A dan B atau antara B
dan C ?
(3) Perbandingan kekuatan interaksi wilayah A dan B
dengan wilayah B
dan C adalah 240.000 : 120.000 atau 2 : 1.
Berdasarkan perbandingan tersebut,
potensi penduduk untuk mengadakan interaksi terjadi lebih kuat antara
wilayah A dan B jika dibandingkan antara wilayah B dan C.
Keterangan : Tanda panah menunjukan tingkat
interaksi dan
perbandingan kekuatan potensi interaksi.
Perbandingan potensi interaksi
antarwilayah dengan memanfaatkan
formula yang dikemukakan Reilly ini dapat diterapkan jika kondisi
wilayah-wilayah yang dibandingkan memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun persyaratan tersebut
antara lain sebagai berikut.
1. Kondisi
sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, mata pencarian,
mobilitas, dan kondisi sosial-budaya penduduk setiap wilayah yang
dibandingkan relatif memiliki kesamaan.
2. Kondisi
alam setiap wilayah relatif sama, terutama berkaitan dengan
kondisi topografinya.
3. Keadaan
sarana dan prasarana transportasi yang meng hubung kan
wilayah-wilayah yang dibandingkan relatif sama.
c.
Teori Titik Henti (Breaking Point Theory)
Teori
Titik Henti (Breaking Point Theory) merupakan hasil modifikasi
dari Model Gravitasi
Reilly. Teori ini memberikan gambaran tentang
perkiraan posisi
garis batas yang memisahkan wilayah-wilayah
perdagangan dari dua
kota atau wilayah yang berbeda jumlah dan
komposisi
penduduknya. Teori Titik Henti juga dapat digunakan dalam
memperkirakan
penempatan lokasi industri atau pusat pelayanan
masyarakat.
Penempatan dilakukan di antara dua wilayah yang berbeda
jumlah penduduknya
agar terjangkau oleh penduduk setiap wilayah.
Menurut
teori ini jarak titik henti (titik pisah) dari lokasi pusat
perdagangan (atau
pelayanan sosial lainnya) yang lebih kecil ukurannya
adalah berbanding
lurus dengan jarak antara kedua pusat perdagangan.
Namun, berbanding
terbalik dengan satu ditambah akar kuadrat jumlah
penduduk dari kota
atau wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi
jumlah penduduk kota
yang lebih sedikit penduduknya. Formulasi Teori
Titik Henti adalah
sebagai berikut.
Contoh soal:
Kota
A memiliki jumlah penduduk 20.000 jiwa, sedangkan kota B 80.000
jiwa. Jarak antara kedua kota tersebut adalah 100 kilometer. Di manakah lokasi
pusat perdagangan yang tepat dan strategis agar terjangkau oleh penduduk setiap
kota tersebut?
Diketahui:
Ditanyakan : titik henti ?
Berkaitan dengan perencanaan pembangunan wilayah,
Model
Gravitasi dan Teori Titik Henti dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu pertimbangan faktor lokasi. Model Gravitasi dan Teori Titik
Henti dapat dimanfaatkan untuk merencanakan pusat-pusat
pelayanan masyarakat, seperti kantor Polisi, POM bensin, rumah
sakit, sekolah.
=========